Gratis adalah gratis, tanpa embel-embel. Itulah pemahaman orangtua murid mengenai Sekolah Gratis. Sementara bagi pemerintah, Sekolah Gratis ternyata hanya pada hal-hal tertentu terkait biaya operasional sekolah. Itulah realitas yang terjadi.
“Yang gratis itu cuma sebatas uang SPP dan pendaftaran awal sekolah, semua yang lainnya bayar mulai uang buku, alat tulis, seragam, semuanya beli sendiri 100 persen,” ujar Sn, orangtua siswa SMPN 197, Gadog, Kedoya, Jakarta Barat.
“Kalaupun ada, yang gratis itu hanya buku perpustakaan, itu saja yang gratis dari pemerintah,” tambah Sn.
Sungguh ironis. Awalnya, ketika iklan pendidikan gratis mulai bergulir di televisi, harapan Sn berbunga-bunga. Nyatanya, begitu tiba saatnya sang anak sekolah, harapan itu mengabur seketika.
“Kalau bisa memang semuanya gratis, semuanya pemerintah yang mendanai supaya pendidikan anak-anak kita bisa lebih tinggi,” ujar Sn, berharap.
Selain Sn, Ny Nh, orangtua siswa lainnya di sekolah itu juga mengaku agak bingung soal pendidikan gratis. Gratis di matanya benar-benar gratis, lain tidak.
“Gratis itu kan artinya tidak ada bayaran-bayaran, tapi kenyataannya tidak begitu,” tandas Nh. “Buku masih perlu bayar separuhnya, selain itu kita juga bayar baju batik, baju olahraga, topi, dan dasi di sekolah, cuma baju seragam sekolah yang beli sendiri di luar. Yang benar-benar gratis itu cuma uang bulanan dan daftar masuk,” tegasnya.
Gratis, Ternyata…
Pemahaman mengenai program Sekolah Gratis antara masyarakat, khususnya orangtua murid, dan pemerintah sepertinya memang berbeda, sehingga hal ini masih menimbulkan pro-kontra di tengah tahun ajaran baru 2009/2010 yang kini sudah bergulir.
Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Kepala Sekolah SMPN 1 Jonggol Kabupaten Bogor Rachmat Mulyana. Makna dari program Sekolah Gratis yang diiklankan oleh Mendiknas Bambang Sudibyo tersebut dimaksudkan hanya pada biaya operasional sekolah.
Hal itu, lanjut Rachmat, seperti yang tercantum sebagai 13 poin di buku panduan BOS (Bantuan Operasional Sekolah), yaitu:
1. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru
2. Pembelian buku referensi untuk dikoleksi di perpustakaan
3. Pembelian buku teks pelajaran untuk dikoleksi di perpustakaan
4. Membiayai kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, olah raga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja, dan sejenisnya.
5. Membiayai ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah, dan laporan hasil belajar siswa
6. Membeli bahan-bahan habis pakai
7. Membayar langganan daya dan jasa
8. Membayar biaya perawatan sekolah
9. Membayar honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan honorer
10. Pengembangan profesi guru
11. Memberi bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transportasi dari dan ke sekolah
12. Membiayai kegiatan dalam kaitan dengan pengelolaan BOS, seperti :
13. Pembelian personal komputer untuk kegiatan belajar siswa, maksimum 1 set untuk SD dan 2 set untuk SMP
Menurut Rachmat, kurangnya sosialisasi program Sekolah Gratis menjadi musabab sebenarnya yang membuat masyarakat mendapatkan informasi yang minim dan kabur.
“Ada ketidakjelasan informasi sehingga masyarakat tak tahu seperti apa Sekolah Gratis yang dimaksudkan oleh pemerintah,” ujar Rachmat. (M1-09/M2-09)
Sumber: Kompas
“Yang gratis itu cuma sebatas uang SPP dan pendaftaran awal sekolah, semua yang lainnya bayar mulai uang buku, alat tulis, seragam, semuanya beli sendiri 100 persen,” ujar Sn, orangtua siswa SMPN 197, Gadog, Kedoya, Jakarta Barat.
“Kalaupun ada, yang gratis itu hanya buku perpustakaan, itu saja yang gratis dari pemerintah,” tambah Sn.
Sungguh ironis. Awalnya, ketika iklan pendidikan gratis mulai bergulir di televisi, harapan Sn berbunga-bunga. Nyatanya, begitu tiba saatnya sang anak sekolah, harapan itu mengabur seketika.
“Kalau bisa memang semuanya gratis, semuanya pemerintah yang mendanai supaya pendidikan anak-anak kita bisa lebih tinggi,” ujar Sn, berharap.
Selain Sn, Ny Nh, orangtua siswa lainnya di sekolah itu juga mengaku agak bingung soal pendidikan gratis. Gratis di matanya benar-benar gratis, lain tidak.
“Gratis itu kan artinya tidak ada bayaran-bayaran, tapi kenyataannya tidak begitu,” tandas Nh. “Buku masih perlu bayar separuhnya, selain itu kita juga bayar baju batik, baju olahraga, topi, dan dasi di sekolah, cuma baju seragam sekolah yang beli sendiri di luar. Yang benar-benar gratis itu cuma uang bulanan dan daftar masuk,” tegasnya.
Gratis, Ternyata…
Pemahaman mengenai program Sekolah Gratis antara masyarakat, khususnya orangtua murid, dan pemerintah sepertinya memang berbeda, sehingga hal ini masih menimbulkan pro-kontra di tengah tahun ajaran baru 2009/2010 yang kini sudah bergulir.
Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Kepala Sekolah SMPN 1 Jonggol Kabupaten Bogor Rachmat Mulyana. Makna dari program Sekolah Gratis yang diiklankan oleh Mendiknas Bambang Sudibyo tersebut dimaksudkan hanya pada biaya operasional sekolah.
Hal itu, lanjut Rachmat, seperti yang tercantum sebagai 13 poin di buku panduan BOS (Bantuan Operasional Sekolah), yaitu:
1. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru
2. Pembelian buku referensi untuk dikoleksi di perpustakaan
3. Pembelian buku teks pelajaran untuk dikoleksi di perpustakaan
4. Membiayai kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, olah raga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja, dan sejenisnya.
5. Membiayai ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah, dan laporan hasil belajar siswa
6. Membeli bahan-bahan habis pakai
7. Membayar langganan daya dan jasa
8. Membayar biaya perawatan sekolah
9. Membayar honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan honorer
10. Pengembangan profesi guru
11. Memberi bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transportasi dari dan ke sekolah
12. Membiayai kegiatan dalam kaitan dengan pengelolaan BOS, seperti :
13. Pembelian personal komputer untuk kegiatan belajar siswa, maksimum 1 set untuk SD dan 2 set untuk SMP
Menurut Rachmat, kurangnya sosialisasi program Sekolah Gratis menjadi musabab sebenarnya yang membuat masyarakat mendapatkan informasi yang minim dan kabur.
“Ada ketidakjelasan informasi sehingga masyarakat tak tahu seperti apa Sekolah Gratis yang dimaksudkan oleh pemerintah,” ujar Rachmat. (M1-09/M2-09)
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar