Kondisi di Haiti kian tidak menentu. Jumlah korban pun terus bertambah. Selain karena masih banyak yang tertimbun dan belum dievakuasi, angka kematian meningkat seiring makin banyaknya warga negeri bekas jajahan Prancis itu yang rela membunuh demi makanan. Pasalnya, hingga kemarin (18/1) sebagian besar bantuan masih bertumpuk di bandara.
Iring-iringan truk pembawa bantuan memang mulai memasuki ibu kota sejak Minggu malam (17/1). Tapi, bantuan yang sampai ke tangan korban selamat di Port-Au-Prince masih terlalu sedikit. Akibatnya, para korban yang sudah enam hari menunggu makanan dan air bersih pun saling berebut. Pertikaian sampai aksi saling pukul dengan palu dan batu, hingga saling tikam dengan pisau pun tak terhindarkan
Penjarahan juga terus terjadi. Ratusan penjarah menyerbu pertokoan di pusat ibu kota. Karena jumlah penjarah jauh lebih banyak dibanding aksi penjarahan Minggu lalu, mereka yang berniat merampas barang-barang di toko pun harus berebut. "Sedikitnya dua tersangka penjarah ditembak mati oleh polisi," kata salah seorang korban selamat yang mengaku menyaksikan penembakan tersebut, seperti dikutip The Times.
Kondisi keamanan semakin mengkhawatirkan dengan berita kembalinya sekelompok kriminal kambuhan ke kampung kumuh Cite Soleil. Sebagian besar dari mereka adalah narapidana yang kabur dari penjara saat gempa mengguncang Haiti Selasa sore (12/1) waktu setempat (Rabu pagi WIB). Karena itu, beberapa wali kota, bankir, dan pebisnis mendesak pemerintahan Presiden Rene Preval lebih serius menegakkan hukum.
"Sukses tidaknya meredam gejolak yang saat ini timbul dalam masyarakat bergantung pada sampai tidaknya bantuan internasional (ke tangan para korban)," ujar Komandan Polisi Ralph Jean-Brice yang bertanggung jawab atas Departemen Barat Haiti, seperti dikutip Reuters.
Sampai kemarin, selain bantuan makanan dan air bersih, kamp darurat untuk menampung warga juga belum memiliki dapur umum. Untuk membantu pemerataan distribusi bantuan, Amerika Serikat (AS) kembali mengirimkan pasukan tambahan ke negara kecil di Laut Karibia tersebut.
Sekitar2.200 personel marinir dari Komando Selatan AS plus alat berat, helikopter, dan bantuan medis bertolak ke Haiti kemarin. "Mereka akan bergabung dengan sekitar 5.000 personel yang lebih dulu berada di sana," ujar Juru Bicara Komando Selatan Militer AS Jose Ruiz.
Sejatinya, bukan jumlah personel yang menjadi kendala distribusi bantuan. Selain belum berfungsi maksimalnya bandara, pelabuhan, dan stasiun-stasiun, instruksi yang tidak jelas juga menjadi hambatan. "Mereka hanya mengirim kami ke tempat-tempat yang tidak penting. Padahal, waktu terus berjalan," keluh Pere Perez, petugas pemadam kebakaran dari Benidorm, Spanyol, kepada The Times.
Dua hari pertama di negara miskin itu, Perez mengaku sama sekali tidak melakukan apa pun. Kemarin sebuah ekskavator yang dioperasikan tim Perez baru mulai menggali reruntuhan. Proses evakuasi, ungkap seorang penduduk Port-Au-Prince, juga hanya dilakukan atas permintaan. Jika tidak dipaksa warga, tim pencari terkesan enggan mengevakuasi korban. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon yang kemarin berada di Haiti mengimbau seluruh warga dan korban selamat untuk bersabar. "Ini salah satu krisis kemanusiaan terburuk sepanjang dekade," papar diplomat asal Korea Selatan tersebut.
Iring-iringan truk pembawa bantuan memang mulai memasuki ibu kota sejak Minggu malam (17/1). Tapi, bantuan yang sampai ke tangan korban selamat di Port-Au-Prince masih terlalu sedikit. Akibatnya, para korban yang sudah enam hari menunggu makanan dan air bersih pun saling berebut. Pertikaian sampai aksi saling pukul dengan palu dan batu, hingga saling tikam dengan pisau pun tak terhindarkan
Penjarahan juga terus terjadi. Ratusan penjarah menyerbu pertokoan di pusat ibu kota. Karena jumlah penjarah jauh lebih banyak dibanding aksi penjarahan Minggu lalu, mereka yang berniat merampas barang-barang di toko pun harus berebut. "Sedikitnya dua tersangka penjarah ditembak mati oleh polisi," kata salah seorang korban selamat yang mengaku menyaksikan penembakan tersebut, seperti dikutip The Times.
Kondisi keamanan semakin mengkhawatirkan dengan berita kembalinya sekelompok kriminal kambuhan ke kampung kumuh Cite Soleil. Sebagian besar dari mereka adalah narapidana yang kabur dari penjara saat gempa mengguncang Haiti Selasa sore (12/1) waktu setempat (Rabu pagi WIB). Karena itu, beberapa wali kota, bankir, dan pebisnis mendesak pemerintahan Presiden Rene Preval lebih serius menegakkan hukum.
"Sukses tidaknya meredam gejolak yang saat ini timbul dalam masyarakat bergantung pada sampai tidaknya bantuan internasional (ke tangan para korban)," ujar Komandan Polisi Ralph Jean-Brice yang bertanggung jawab atas Departemen Barat Haiti, seperti dikutip Reuters.
Sampai kemarin, selain bantuan makanan dan air bersih, kamp darurat untuk menampung warga juga belum memiliki dapur umum. Untuk membantu pemerataan distribusi bantuan, Amerika Serikat (AS) kembali mengirimkan pasukan tambahan ke negara kecil di Laut Karibia tersebut.
Sekitar2.200 personel marinir dari Komando Selatan AS plus alat berat, helikopter, dan bantuan medis bertolak ke Haiti kemarin. "Mereka akan bergabung dengan sekitar 5.000 personel yang lebih dulu berada di sana," ujar Juru Bicara Komando Selatan Militer AS Jose Ruiz.
Sejatinya, bukan jumlah personel yang menjadi kendala distribusi bantuan. Selain belum berfungsi maksimalnya bandara, pelabuhan, dan stasiun-stasiun, instruksi yang tidak jelas juga menjadi hambatan. "Mereka hanya mengirim kami ke tempat-tempat yang tidak penting. Padahal, waktu terus berjalan," keluh Pere Perez, petugas pemadam kebakaran dari Benidorm, Spanyol, kepada The Times.
Dua hari pertama di negara miskin itu, Perez mengaku sama sekali tidak melakukan apa pun. Kemarin sebuah ekskavator yang dioperasikan tim Perez baru mulai menggali reruntuhan. Proses evakuasi, ungkap seorang penduduk Port-Au-Prince, juga hanya dilakukan atas permintaan. Jika tidak dipaksa warga, tim pencari terkesan enggan mengevakuasi korban. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon yang kemarin berada di Haiti mengimbau seluruh warga dan korban selamat untuk bersabar. "Ini salah satu krisis kemanusiaan terburuk sepanjang dekade," papar diplomat asal Korea Selatan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar